Persoalan pertahanan wilayah perbatasan negara hanya menjadi salah satu isu sensitif politik dan pertahanan di tingkat internal dan bilateral antar negara yang memiliki wilayah berbatasan langsung. Namun seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu-isu pertahanan dan pengelolaan wilayah perbatasan Negara terutama di perbatasan darat dan perairan/laut juga menjadi problem multilateral dan bahkan internasional. Perubahan ini seiring dengan beragam kepentingan ekonomi-politik, kemajuan tekonologi, globalisasi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang lintas negara, serta kepentingan perlindungan wilayah dan warga negara.
Di Indonesia, masalah-masalah seputar daerah perbatasan tidak semata-mata terletak pada pengamanan wilayah perbatasannya saja, akan tetapi menyangkut juga pada aspek non-geografi seperti pembangunan dan pengelolaan. Sejauh ini belum ada blueprint jangka panjang, menengah dan pendek yang memaparkan agenda pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan yang komprehensif, termasuk mengatur aktor-aktor dominan di beberapa sektor terkait. Kebijakan yang ada umum nya menempatkan isu penanganan perbatasan hanya sematamata sebagai isu pertahanan keamanan, dimana Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang TNI pada Pasal 7 (2) misalnya, menegaskan bahwa bahwa keamanan perbatasan merupakan salah satu tugas TNI. Namun persoalan isu perbatasan dan kewenangan pihak lainnya belum diatur dengan jelas.
ada dasarnya, masalah pengelolaan dan pengamanan wilayah perbatasan sangat terkait erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pengamanan wilayah perbatasan dapat disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman totalitas me ngenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan Negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan”.
Di masa lalu, klaim, konfl ik dan kepentingan-kepentingan kedaulatan mulai dari wilayah perbatasan pada akhirnya diselesaikan melalui perang, yang berujung pada penundukan dan penguasaan wilayah Negara serta berakibat juga pada kehancuran sistem politik, ekonomi dan sosial di suatu wilayah yang berhasil dikuasai. Adagium ‘Civis Pacem Para Bellum‘ (siapa yang menginginkan perdamaian harus bersiap untuk berpe rang) yang dipercaya sebagai justifi kasi keluhuran perang telah membungkus beragam motif dibalik sebuah perang, termasuk persoalan-persoalan yang berawal dari wilayah perbatasan. Sementara di masa kini, dibutuhkan suatu kemajuan dalam kearifan dan kemampuan mendeteksi ancaman, membangun strategi pengelolaan dan pertahanan serta mengatasi ancaman-ancaman tersebut dengan lebih elegan, konstitusional dan tunduk pada ketentuan-ketentuan internasional.
Bagaimanapun pilihan pengerahan kekuatan bersenjata pada saat-saat genting dalam sebuah negara modern yang demokratis, termasuk dalam mengatasi persoalan perbatasan
(1) merupakan alternative terakhir (last resort)
(2) diputuskan oleh otoritas politik sipil yang sah dan berwenang
(3) semata-mata untuk kepentingan pertahanan Negara
(4) ditujukan untuk memulihkan kembali kondisi damai
(5) mematuhi prinsip non-diskriminasi
(6) proporsional.
Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim yang berbatasan langsung dengan kurang lebih 10 negara tetangga di wilayah darat maupun laut, menjadi Negara yang mempunyai beban dan tantangan berat dalam pengelolaan dan pengamanan di wilayah perbatasannya. Sejak awal kemerdekaan, 63 tahun silam, Indonesia sudah terbiasa menghadapi masalah-masalah perbatasan. Namun, ironisnya, kondisi itu berlangsung hingga kini dan belum tertangani dengan baik. Sebuah formula yang efektif diperlukan untuk menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan perbatasan. Karena masalah yang timbul di wilayah perbatasan lambat laun akan menjadi sumber ancaman atas ketahanan nasional dan lebih lanjut pada keberlangsungan dan kedaulatan (sovereignity) negara. Oleh karena itu wacana strategi manajemen wilayah perbatasan harus dituntaskan hingga mencapai satu titik solusi yang bisa menjawab persoalan yang muncul. Selanjutnya, dibuthkan satu kerangka kerja yang lebih kongkrit dan memadai untuk mengatasi persoalan-persoalan pengelolaan dan pengamanan tersebut. Selama ini, pendekatan yang digunakan untuk mengelola wilayah perbatasan sangat inward looking. Dimana wilayah perbatasan sebagai teritorial garis terdepan Indonesia, diasumsikan sebagai ancaman, dan pendekatan keamanan menjadi satu-satunya pendekatan utama. Mengingat bahwa bentuk ancaman kontemporer di wilayah perbatasan tidak lagi bersifat ancaman militer yang konvensional, maka formulasi penanganan yang mengedepankan aspek pertahanan dan keamanan semata dirasa sudah tidak lagi relevan. Pendekatan pertahanan dan keamanan yang dominan militeristik tanpa memperhatikan aspek kemakmuran masyarakat setempat terbukti telah gagal menyelesaikan persoalan. Karena pada kenyataannya, masalah yang muncul di perbatasan, seringkali datang dari faktor internal seperti ekonomi, sosial dan politik, bukan dari faktor eksternal. Kesan wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal dan terisolir, jauh dari jangkauan tehknologi, informasi dan pembangunan tampak mengemuka dan seolah-olah tak sanggup dipecahkan. Padahal penduduk daerah-daerah perbatasan inilah yang menjadi garda terdepan negara kita. Pencitraan yang miring terhadap daerah perbatasan, menjadikan penduduk di wilayah ini seolah- olah menjadi bangsa asing di negeri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar