Selasa, 31 Agustus 2010

Perjanjian Diperbatasan

Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Daerah perbatasan adalah daerah batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan daerah batas wilayah negara tetangga yang disepakati bersama berdasarkan perjanjian lintas batas (crossing border agreement) antara Pemerintah Republik Indonesia Indonesia dan negara tetangga, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, perbatasan memiliki fungsi yang sangat krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi perbatasan negara: pertama sebagai garis pertahanan suatu negara; kedua sebagai pelindung kegiatan ekonomi dalam wilayah; ketiga fungsi hukum; empat batas wilayah kekuasaan negara, dan kelima, sebagai aspek kepentingan suatu negara. Batas negara pada dasarnya merupakan garda terdepan dalam hubungan dengan luar negeri atau dunia internasional. Untuk itu, dikenal konsep daerah frontier dan boundary. Frontier merupakan wilayah yang berada di depan, sedangkan boundary mengandung makna garis batas, yang tegas.

Sejauh ini sejumlah landasan hukum menjadi dasar dari pelbagai kebijakan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan darat, laut dan udara. Sayangnya landasan-landasan tersebut besifat umum dan cenderung sangat berorientasi pada penanganan wilayah darat dan laut.
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam pasal 25 E hanya menyatakan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal ini. Terkait dengan meknisme pengelolaan dan pengamanan wilayah NKRI, seluruh pembahasan yang pengaturan tidak secara jelas dan tegas menyebutkan isu-isu wilayah perbatasan, terlebih wilayah perbatasan udara.
Merujuk pada sejumlah Undang-undang, wacana tentang pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan udara pun minim. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, penjabaran akan kepentingan perlindungan wilayah perbatasan tidak dijelaskan. Pengertian konsep pertahanan sebagaimana disebut dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 masih bersifat sangat umum, yaitu, “(1). Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (2). Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.” Selebihnya UU ini menjabarkan teknis operasionalisasi pertahanan negara yang bersifat strategis dan general.
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, namun tidak menyentuh point-point yang eksplisit untuk kewenangan dan mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik darat, laut, maupun udara. UU No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya mengatur peran-peran operasional TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan pada aspek policy kebijakan pertahanan, apalagi penanganan wilayah perbatasan. Demikian pula UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan yang masih berorientasi pada wilayah non perbatasan dan terfokus pada daratan.
Rumusan yang agak terang muncul dalam UU no 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang menegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan. Termasuk pendekatan kesejahteraan untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan dan negara kdepan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; pengembangan sistem MCS (Monitoring, Control and Survaillance); optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan; serta koordinasi penanganan pelanggaran laut. Gambaran untuk penanganan wilayah perbatasan udara tetap belum jelas.
Lebih spesifik terkait pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan udara, problem problem yang bersifat teknis juga terjadi. Seperti diketahui, klaim wilayah perbatasan udara kita mengkuti garis lurus vertikal wilayah perbatasan darat dan perairan atau konsep perbatasan tiga dimensi. Akibatnya penentuan wilayah perbatasan udara terutama di perairan mengikuti konfigurasi perbatasan yang ada dan terpecah-pecah. Akibatnya pemantauan terhadap perbatasan udara menjadi sulit karena factor kesulitan mengetahui secara pasti batasan antara ruang udara Indonesia dan ruang udara bebas (di atas wilayah perairan internasional).
Konsekuensinya, pemerintah Indonesia cenderung memilih sikap berhati-hati terhadap tuduhan pelanggaran wilayah udara Indonesia seperti dalam kasus penyusupan pesawat-pesawat Hornet Angkatan Udara Australia ketimbang terjebak dalam perkara internasional yang belum tentu dimenangkan mengingat minimnya pembuktian –terutama di titik perbatasan. Pencatatan data dan titik aktivitas penerbangan gelap belum berarti memberikan bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelanggaran ini. Terlebih dengan kondisi kemampuan radar dan operasi udara yang belum maksimal, maka kemungkinan untuk ‘menggertak’ pesawat-pesawat yang melakukan penerbangan gelap tersebut cenderung sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar